Papua dalam Bayang Sentralisasi Pembangunan
Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran menandai babak baru dalam arah pembangunan nasional yang semakin berpusat di tangan pusat kekuasaan.
Bagi Papua, tahun pertama pemerintahan ini tidak menunjukkan perubahan berarti dalam hal pengakuan terhadap hak-hak dasar masyarakat adat dan keadilan ekologis.
Melalui pembentukan Komite Pembangunan Papua dan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus (BP3OKP), negara tampak memperkuat kendali politik dan birokrasi dari Jakarta bukan memperluas ruang partisipasi dan kemandirian lokal.
Alih-alih memperkuat tata kelola berbasis wilayah adat, kebijakan ini justru menegaskan pola sentralisasi baru dalam tubuh otonomi khusus.
Kegagalan Otsus dan Krisis Ekologis yang Memburuk
Dua dekade Otonomi Khusus tidak berhasil mewujudkan cita-cita keadilan bagi orang asli Papua.
Kewenangan daerah tetap terbatas, sementara ruang hidup masyarakat adat terus tergerus oleh
ekspansi perkebunan, tambang, dan proyek infrastruktur berskala besar.
Laju deforestasi di Tanah Papua kini termasuk yang tertinggi di Indonesia Timur terutama di wilayah adat yang tumpang tindih dengan izin investasi. Namun, posisi masyarakat adat dalam tata kelola hutan dan sumber daya alam tetap lemah dan tidak dilindungi secara efektif.
Mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) masih diabaikan, dan kelembagaan adat sering disubordinasikan oleh kebijakan sektoral negara.
Dalam konteks inilah, pembangunan yang mengatasnamakan “percepatan dan pemerataan” justru menjadi instrumen baru dari perampasan ruang hidup dan pelemahan kedaulatan adat.
Papua Butuh Pengakuan atas Kedaulatan Adat dan Ekologinya
Bagi Papua, tantangan utama bukanlah kekurangan lembaga, melainkan absennya pengakuan terhadap kedaulatan adat dan ekologis masyarakat adat.
Arah pembangunan yang adil dan berkelanjutan bagi Papua harus berpijak pada pengakuan atas wilayah adat, sistem pengetahuan lokal, serta tata kelola ekologis yang telah diwariskan dan dijaga oleh leluhur.
Sebagaimana ditegaskan oleh Charles Imbir, Direktur Institut USBA:
“Selama negara memandang Papua hanya sebagai objek pembangunan, bukan sebagai pemilik kedaulatan adat dan ekologi, maka setiap program akan berakhir pada pengulangan krisis yang sama kemiskinan, ketimpangan, dan kehancuran alam.”
Menuju Agenda Baru: Keadilan Ekologis dan Kedaulatan Adat
Institut USBA menyerukan agar pemerintah pusat meninjau kembali arah pembangunan Papua dengan pendekatan berbasis wilayah adat.
Kebijakan nasional harus membuka ruang bagi :
- Restorasi ekosistem dan perlindungan wilayah adat sebagai fondasi pembangunan hijau di Tanah Papua.
- Desentralisasi kewenangan ekologis yang memberi peran nyata bagi lembaga adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
- Transparansi dan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan pembangunan, agar tidak ada lagi keputusan sepihak atas nama “percepatan”.
- Revisi UU Otonomi Khusus Papua, dengan menempatkan BP3OKP langsung di bawah Presiden, bukan di bawah Wakil Presiden, agar memiliki otoritas kuat dan akuntabilitas public yang lebih transparan
- Pembentukan Dewan Rakyat Papua Independen, yang beranggotakan tokoh adat, perempuan, pemuda, agamawan, dan akademisi untuk mengawal pelaksanaan Otsus serta memastikan pembangunan berpihak pada masyarakat adat dan kelestarian ekologi yang beranggotakan tokoh adat, perempuan, pemuda, agamawan, dan akademisi untuk mengawal pelaksanaan Otsus serta memastikan pembangunan berpihak pada masyarakat adat dan kelestarian ekologi. (Penulis : Charles Imbir, Direktur Institut USBA, Raja Ampat)