Sorong, mediabetewnews.com – Anggota DPD RI/ MPR RI, Paul Finsen Mayor blak-blakan soal rentetan masalah yang selama ini terjadi ditengah ramainya perusahaan tambang nikel yang beroperasi di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Diantaranya, tidak keterbukaan soal penggunaan dana CSR yang bernilai fantastis, minimnya keterlibatan tenaga kerja Orang Asli Papua (OAP), mengabaikan kontraktor lokal serta tindakan kriminalisasi pelepasan hak tanah adat.
Meski sebelumnya, Senator yang juga sebagai Ketua Dewan Adat Papua Wilayah III Doberai menyampaikan apresiasi terhadap Presiden Prabowo pasca dicabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat dari lima perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut.
Untuk itu, ia mendesak aparat penegak hukum, khususnya Bareskrim Polri, untuk segera melakukan audit terkait dana CSR secara menyeluruh terhadap aktivitas dan tanggung jawab sosial PT GAG Nikel. Serta kerusakan alam yang ditinggalkan oleh keempat perusahaan yang IUP-nya dicopot.
“Saya mengapresiasi langkah cepat Presiden Prabowo. Tapi kita juga harus perhatikan, perusahaan seperti PT GAG Nikel yang sudah beroperasi sejak tahun 1970-an, kenapa baru sekarang dipersoalkan? Ini karena kontribusinya terhadap masyarakat adat sangat minim,” ujar Paul dalam keterangannya.
Paul menyatakan bahwa keterlibatan orang asli Papua (OAP) dalam operasional tambang tersebut sangat rendah, bahkan disebutnya berada di bawah 10 persen. “Saya kira pada tahun 2022 saya pernah cek ke sana, dan pekerja OAP hanya sekitar 3 persen. Hampir semua pekerja didatangkan dari luar Papua, bahkan kontraktor lokal pun tidak dilibatkan. Ini ironis. Sumber daya alamnya dikeruk, tapi sumber daya manusianya dibiarkan terpuruk,” tegasnya.
Selain itu, Paul mengungkapkan bahwa kompensasi yang diberikan kepada masyarakat adat terdampak juga sangat tidak layak. “Kepala kampung di beberapa pulau terdampak hanya diberi sekitar 10 juta rupiah per tahun, padahal nikel yang diambil nilainya miliaran rupiah. Uang CSR (Corporate Social Responsibility) PT GAG Nikel ke mana saja? Ini harus diaudit,” lanjutnya.
Paul juga menyoroti adanya indikasi perbuatan melawan hukum, seperti temuan blanko kosong terkait administrasi perusahaan pada tahun 2021 yang sempat dilaporkan oleh sejumpah media. Ia menilai temuan tersebut harus diproses secara hukum karena merugikan negara dan masyarakat.
Lebih lanjut, Paul menduga jumlah IUP yang beredar dan beroperasi di wilayah adat lebih banyak dari yang diberitakan media. “Saya mencurigai jumlah IUP lebih dari yang disebutkan. Misalnya di kepulauan Piayanemo, tepatnya di Kampung Saupapir, Saukabu, dan Kampung Fam, ada perusahaan bernama PT Anugerah Pertiwi Indotama yang tidak disebut-sebut. Masyarakat sendiri yang menyerahkan data, peta, dan luasan lahan. Perusahaan belum berproduksi, tapi sudah mengurus perizinan langsung ke kementerian, tanpa sepengetahuan masyarakat dan pemerintah daerah,” jelasnya.
Ia menilai praktik seperti itu sangat merugikan masyarakat adat karena proses perizinan dilakukan secara tertutup dan tidak transparan. “Biasanya proses izin bisa bertahun-tahun, tapi ini dilakukan diam-diam. Bupati ganti bupati, izinnya terus diproses. Seperti kasus di tahun 2013 yang baru dipersoalkan sekarang,” pungkas Paul.
Paul Finsen Mayor berharap momentum pencabutan IUP oleh Presiden Prabowo bisa menjadi titik balik untuk membenahi pengelolaan tambang di Tanah Papua, serta memastikan keadilan dan keberpihakan terhadap masyarakat setempat.