Beranda Lintas Papua Presiden Cabut IUP Tambang di Raja Ampat : Penegasan Komitmen Ekologi dan...

Presiden Cabut IUP Tambang di Raja Ampat : Penegasan Komitmen Ekologi dan Transisi Menuju Ekonomi Hijau

93
0
BERBAGI

Pendahuluan: Titik Balik Kebijakan Ekstraktif?
Pada awal Juni 2025, publik dikejutkan oleh langkah tegas Presiden Prabowo Subianto yang melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) resmi mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan tambang nikel di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Tindakan ini didasarkan pada evaluasi serius terhadap dampak lingkungan, ketidaksesuaian dengan peraturan tata ruang, dan respons atas desakan masyarakat adat serta organisasi lingkungan.
Namun, lebih dari sekadar pencabutan administratif, kebijakan ini mencerminkan pergeseran paradigma besar dalam tata kelola sumber daya alam, khususnya di kawasan pulau kecil yang sangat rentan terhadap eksploitasi ekstraktif. Tulisan ini bertujuan untuk membahas lebih mendalam dimensi kebijakan, ekologis, sosial, hukum, dan geopolitik dari keputusan tersebut serta implikasinya terhadap masa depan ekonomi biru dan hijau Indonesia.

Raja Ampat dan Ancaman Ekstraksi:

Kawasan Superprioritas yang Terabaikan
Raja Ampat bukanlah kawasan biasa. Dengan status sebagai UNESCO Global Geopark, wilayah ini dikenal memiliki keragaman hayati laut tertinggi di dunia. Luas kawasan perairannya mencapai lebih dari 4,6 juta hektar, dengan lebih dari 1.500 spesies ikan karang, 75% spesies karang dunia, serta ratusan spesies burung dan mamalia laut.
Namun ironis, di tengah upaya global melindungi biodiversitas dan mendorong ekonomi rendah karbon, wilayah ini justru menjadi target eksploitasi pertambangan. Tambang-tambang yang diizinkan masuk sejak lebih dari satu dekade lalu sebagian besar berdiri di Pulau Kawe dan Pulau Gag—dua wilayah yang sangat penting secara ekologis dan sosial.
Aktivitas pertambangan nikel, meskipun belum memasuki tahap produksi masif, telah meninggalkan jejak kerusakan: deforestasi, sedimentasi perairan, serta fragmentasi habitat laut dan darat. Bahkan, studi oleh berbagai LSM lingkungan menunjukkan degradasi kualitas air dan gangguan terhadap sistem penghidupan masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya alam hayati.

Landasan Hukum dan Pelanggaran Tata Kelola Pulau Kecil
Pencabutan IUP di Raja Ampat merujuk pada sejumlah dasar hukum penting, antara lain:
1. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
2. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
Salah satu klausul penting dalam UU Pesisir menyebutkan bahwa aktivitas tambang dilarang dilakukan di pulau-pulau kecil (kurang dari 2.000 km²) apabila berdampak negatif terhadap ekosistem dan keberlanjutan masyarakat. Dalam konteks ini, masuknya empat perusahaan tambang terbukti melanggar asas perlindungan ruang hidup dan keberlanjutan pulau kecil.
Evaluasi KLHK juga menemukan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak melengkapi dokumen AMDAL secara memadai, serta tidak melaksanakan kewajiban konsultasi publik yang melibatkan masyarakat adat setempat. Artinya, secara hukum maupun etika, aktivitas tersebut tidak memiliki legitimasi sosial maupun lingkungan.

Dimensi Sosial: Antara Penolakan dan Ketahanan Komunitas Adat
Masyarakat adat di Raja Ampat, termasuk marga-marga di Kawe, Meos Mansar, dan Waigeo, sejak lama menyatakan penolakannya terhadap pertambangan. Sistem adat lokal yang dikenal sebagai “Sasi” merupakan salah satu sistem pengelolaan sumber daya yang berfungsi menjaga keseimbangan ekologis laut dan darat. Praktik ini mencerminkan kearifan lokal dalam konservasi dan pengelolaan berbasis komunitas.
Masuknya investasi pertambangan tak hanya menciptakan ketegangan sosial, tetapi juga mencederai sistem kepercayaan, spiritualitas, dan praktik subsistensi masyarakat adat. Ancaman degradasi sumber daya pesisir berdampak langsung terhadap mata pencaharian nelayan dan petani lokal, serta meningkatkan ketimpangan dan potensi konflik sumber daya.
Pencabutan izin ini disambut secara luas oleh masyarakat lokal sebagai kemenangan atas upaya advokasi panjang. Namun demikian, masih terdapat satu IUP aktif milik PT Gag Nikel (anak usaha PT Antam Tbk) yang saat ini berada dalam pengawasan intensif pemerintah. Situasi ini menyisakan tanda tanya besar tentang konsistensi kebijakan pemerintah dalam menegakkan keadilan ekologis di seluruh kawasan pulau kecil di Indonesia.

Ekonomi Biru vs Ekonomi Tambang:

Paradoks Pengelolaan SDA
Pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan menyuarakan komitmennya terhadap ekonomi biru dan ekonomi hijau sebagai pilar transformasi pembangunan nasional. Namun di lapangan, kita menyaksikan paradoks kebijakan: izin tambang tetap dikeluarkan di wilayah yang seharusnya dikembangkan untuk konservasi dan jasa lingkungan.
Nilai ekonomis dari industri pariwisata berbasis alam di Raja Ampat jauh melampaui potensi jangka pendek dari pertambangan nikel. Kajian oleh Conservation International menunjukkan bahwa potensi ekowisata laut dapat memberikan pemasukan hingga USD 10 juta per tahun, dengan dampak distribusi ekonomi yang lebih merata kepada masyarakat lokal.
Sebaliknya, pertambangan tidak hanya bersifat eksklusif, tetapi juga membawa dampak lingkungan yang luas dan merusak basis ekonomi lokal secara struktural. Oleh karena itu, pencabutan IUP ini bukan hanya keputusan hukum dan administratif, tetapi juga langkah korektif untuk mengembalikan orientasi pembangunan ke arah yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Urgensi Audit Lingkungan dan Moratorium Permanen
Langkah berikutnya yang harus dilakukan pemerintah adalah audit lingkungan menyeluruh terhadap seluruh IUP di kawasan konservasi laut, termasuk wilayah lain seperti Kepulauan Aru, Fakfak, dan Pulau Seram yang juga terancam oleh izin tambang. Selain itu, perlu diterbitkan moratorium permanen terhadap izin baru pertambangan di kawasan pesisir dan pulau kecil.
Audit tersebut harus melibatkan perguruan tinggi, LSM lingkungan, masyarakat adat, dan lembaga independen agar prosesnya transparan dan partisipatif. Rekomendasi hasil audit harus menjadi dasar perbaikan kebijakan tata ruang, penataan ulang perizinan, dan penguatan hukum lingkungan.

Penutup:

Mewujudkan Konstitusi Ekologis
Pencabutan IUP di Raja Ampat adalah langkah maju menuju perlindungan kawasan yang secara ekologis penting dan secara sosial sensitif. Namun, langkah ini harus menjadi bagian dari perubahan struktural dalam sistem perizinan sumber daya alam yang selama ini lebih condong pada eksploitasi daripada konservasi.
Dalam konteks visi Indonesia Emas 2045, arah kebijakan pembangunan harus menempatkan lingkungan hidup sebagai pondasi utama. Konstitusi kita telah mengamanatkan perlindungan terhadap hak atas lingkungan yang baik dan sehat (Pasal 28H UUD 1945). Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia membangun konstitusi ekologis yang menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai syarat mutlak bagi setiap kegiatan ekonomi.
Jika pemerintah mampu mempertahankan konsistensi seperti yang ditunjukkan dalam kebijakan di Raja Ampat, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi pemimpin global dalam konservasi laut dan transisi ke ekonomi hijau.
[Catatan Penulis: Tulisan ini ditujukan sebagai refleksi akademik dan advokasi kebijakan berbasis bukti, serta mendukung penguatan tata kelola lingkungan di Indonesia.]

Oleh : Syarif Ohorella, S.Hut.,M.Si (Peneliti Lingkungan dan Kehutanan UNAMIN / Akademisi Bidang Tata Kelolah Hutan dan Pulau Kecil)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here