KOTA SORONG, mediabetewnews.com – Kabupaten Raja Ampat merupakan salah satu penyumbang Devisa bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetapi timbal balik yang diberikan negara berupa Dana Bagi Hasil (DBH) tidak pernah dinikmati oleh masyarakat adat Raja Ampat dikarenakan Peraturan Daerah (Perda) tentang pembagian DBH yang telah disahkan dalam Sidang Paripurna DPRK Raja Ampat tidak pernah diberi nomor sehingga tidak dapat diberlakukan.
“Perda DBH telah disahkan oleh DPRK Raja Ampat dalam Sidang Paripurna namun tidak pernah diberi nomor oleh pemerintah sehingga Perda tersebut tidak dapat diberlakukan,” jelas Direktur Institut Usba Raja Ampat, Charles Adrian Michael Imbir saat ditemui media ini disalah satu hotel di Kawasan Klademak III Kota Sorong, Kamis (2/9/2025).
Padahal kata Charles, sebelum disahkan anggota DPRK sudah mensosialisasikan kepada masyarakat adat Raja Ampat dan mereka sangat mendukung dan menyetujui namun sampai hari ini Perda tersebut tidak pernah diberi nomor oleh pemerintah sehingga sirna sudah keinginan masyarakat untuk dapat menikmati DBH tambang dari Bupati Raja Ampat.
Terkait dengan alasan mengapa sampai pemerintah tidak memberi nomor kepada Perda DBH, Charles meminta kepada wartawan untuk mengkonfirmasi langsung kepada Bagian Hukum Setda Raja Ampat, alasan apa sampai mereka belum memberi nomor kepada Perda tersebut padahal sudah disahkan dalam Sidang Paripurna.
“Perda DBH itu inisiatif DPR supaya bagi hasil kepada masyarakat adat itu ada khususnya masyarakat adat Kawei, Betew dan masyarakat Gag, detailnya sudah diatur dalam Perda tersebut. Namun dengan tidak dilaksanakan Perda tersebut maka DBH itu berada dalam kuasa Bupati sebagai kepala daerah. Jadi bupati mau pakai dana itu seperti apa itu hak bupati karena DBH itu milik bupati sebagai pengelola dan pemegang mandat keuangan,” terang Charles.
Dikatakan Charles, kalau CSR itu langsung dilakukan atau dikelola langsung oleh perusahaan dan itulah yang membuat perusahaan dapat berbicara karena itu CSR. Kalau DBH itu urusan pemerintah dan CSR itu urusan perusahaan, maka setiap ditanya berapa besar dana DBH pihak Perusahaan tidak pernah menjawab karena itu urusan pemerintah.
Dalam mengelola dana CSR pihak perusahaan langsung berkomunikasi dengan masyarakat seperti penguatan masyarakat, bangun sekolah, itu perusahaan dapat mengumumkan karena dana tersebut dikelola langsung perusahaan.
“Saat saya masih menjabat sebagai anggota DPRK dana CSR itu ada yang 9 miliar bahkan sampai saya melepaskan jabatan sebagai anggota DPRK angkanya mencapai 13 miliar rupiah dan tahun 2025 ini dana CSR mencapai 16 miliar rupiah karena dana CSR tahun yang lalu tidak dipakai habis sehingga ditambahkan dengan tahun ini menjadi 16 miliar rupiah,” terang Charles.
Lanjut Charles, dana CSR itu naik ketika nilai tambang itu naik begitu juga dengan DBH yang dulunya CSR sekarang itu dikenal dengan Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) dan selama ini Perusahaan hanya menjelaskan tentang CSR sedangkan DBH itu urusan pemerintah.
“Terakhir sebelum saya lepas jabatan anggota DPRK ditahun 2024 itu sekitar 62 miliar rupiah. Oleh karena itu kami meminta untuk pemerintah berbagi dengan masyarakat adat supaya masyarakat adat tidak ribut sesama masyarakat adat. Selama ini masyarakat sering konflik antar sesama masyarakat adat karena saling mencurigai siapa yang dapat dan siapa yang tidak, padahal masyarakat semua tidak menerima DBH itu karena masuk dalam APBD dan APBD itu milik bupati sehingga kami pertanyakan dana DBH itu digunakan pemerintah untuk apa saja,” terang Charles.
Dikatakan Charles, selama ini belum ada pengakuan pemerintah terhadap masyatakat adat. Oleh karena itu pemerintah harus mengakui keberadaan masyarakat adat di Raja Ampat kalau pemerintah sudah mengakui maka pemerintah harus membuat keberpihakan kepada masyarakat karena masyarakat adat ada dulu baru pemerintah.
“Jadi pemerintah jangan melupakan masyarakat adat sebagai pemilik tunggal dari hak-hak dasar itu, ini hak dasar, hak hidup sehingga pemerintah harus menjadi fasilitator. Kalau pemerintah tidak mau berbagai dengan masyarakat adat itu keliru, jadi pemerintah jangan marah kalau masyarakat adat membuat tindakan-tindakan keras dengan memalang bahkan pemerintah menyebutkannya dengan makar padahal pemerintah sendiri lalai dengan tindakan yang mengakui hak-hak adat masyarakat,” pungkas Charles.
PENULIS : JASON