SORONG, mediabetewnews.com – Penolakan usaha pertambangan di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya masih menjadi tranding topik yang menghiasi layar internet. Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat berkelas lokal hingga international turut ikut menyoroti.
Terakhir aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi protes di acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Central Park, Jakarta pada tanggal 3 Juni 2025.
Dimana tiga aktivis Greenpeace bersama seorang perempuan muda asal Papua langsung diamankan oleh pihak kepolisian. Saat diseret, pemuda tersebut masih terus berorasi, “Save Raja Ampat, Papua bukan tanah kosong.”
Praktisi hukum di Papua Barat Daya, Bhonto Adnan Wally turut pula bersuara. Menurutnya, aksi nekad aktivis Greenpeace harus menjadi cambukan bagi pemerintah daerah, elemen organisasi kemasyarakatan pemuda dan masyarakat adat bahwa orang di luar Papua saja tidak kenal takut untuk menjaga laut, pulau, pesisir, daratan dan hutan di Papua terkhusus Raja Ampat.
“Raja Ampat itu merupakan permata bagi masyarakat dunia. Bali itu cuma milik Indonesia. Raja Ampat ini masyarakat dunia, karena masyarakat dunia yang mempromosikannya, ” ungkap Bhonto Adnan Wally kepada media ini di lingkungan Pengadilan Negeri Sorong, Kamis (5/6/2025).
Alumnus Program Megister Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang ini menekankan bahwa ijin usaha pertambangan baik Minyak Bumi, Gas, dan Nikel di yang berada di pulau – pulau kecil dalam wilayah administrasi Pemerintah Kabupaten Sorong dan Kabupaten Raja Ampat di harus ditinjau ulang dan dicabut.
Bhonto katakan, yang memberi perintah untuk ijin usaha pertambangan di pulau kecil dicabut itu Undang – Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU NKRI yang melarang, bukan aktivis, Masyarakat Adat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
“Saya garis bawahi kembali ya. Yang memerintahkan agar usaha pertambangan di pulau kecil dicabut itu peraturan perundang – undangan yang dibuat oleh DPR RI dan Presiden RI serta dikuatkan dengan putusan dari lembaga Peradilan tertinggi di Indonesia yang sifatnya wajib untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, yakni Mahkamah Konstitusi,” ucap Bhonto Adnan Wally menekankan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU – XXI/2023 tentang Pengujian Undang – Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (PWP3K) terhadap UUD RI Tahun 1945.
Putusan MK nomor 35 /2023 setebal 721 halaman sudah sangat jelas memberi penjelasan tentang pasal dalam UU nomor 27 Tahun 2007 jounto UU nomor 1 Tahun 2014 tentang PWP3K.
Didalam putusan MK nomor 35/2023, Bhonto bilang, tidak ada satu penjelasan pasal pun didalam isi Undang – Undang 27 Tahun 2027 jounto UU nomor 1 Tahun 2014 yang membolehkan usaha pertambangan bisa diijinkan dilakukan di pulau – pulau kecil.
Kategori pulau kecil pada UU nomor 27/2007 kata Bhonto Adnan Wally, adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.
Dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada Pasal 9 ayat (2) huruf a dan huruf c disebutkan pemberian hak atas tanah di pulau – pulau kecil harus memperhatikan emberian Hak Atas Tanah harus memperhatikan penguasaan atas pulau-pulau kecil paling banyak 70% (tujuh puluh persen) dari luas pulau, atau sesuai dengan arahan rencana tata ruang wilayah provinsi , kabupaten, atau kota tentang rencana zonasi pulau kecil tersebut dan harus mengalokasikan 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau untuk kawasan lindung.
Ada lagi, kata Bhonto, tahun 1997 Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Surat Edaran Nomor 500-1197 yang menyatakan bahwa permohonan izin lokasi dan permohonan hak atas tanah yang meliputi Keseluruhan dari Satu Pulau Hendaknya Ditolak.
Didalan UU No.1 Tahun 2014, Bhonto paparkan, mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk 9 jenis kepentingan, seperti konservasi; pendidikan dan pengembangan; dan budi daya laut.
“MK dalam amar putusan berdasarkan aspek kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kegiatan penambangan dapat merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. Putusan Mahkamah juga menyatakan bahwa penambangan di pulau-pulau kecil merupakan Abnormally Dangerous Activity. Ini saya kutip dari artikel yang diterbitkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), ” kata Bhonto.
Silahkan googling di Internet, lanjut Bhonto, luas Pulau Waigeo itu sekitar 3.155 kilometer persegi. Maka pulau Waigeo sesuai UU nomor 27 /2007 tidak termasuk pulau kecil.
“Ini data geografi yang tercantum di mbak google. Kalau salah berarti mbak Google yang harus disalahkan, ” ujar Bhonto.
Pulau Misool itu, sambung Bhonto, menurut data di Wikipedia seluas 2.034 Kilometer persegi. Sedangkan Pulau Salawati itu luasnya 1.623 kilometer persegi dan Pulau Batanta seluas 479,5 Kilometer persegi.
“Jadi dari empat Pulau yang kita sebut Pulau besar ternyata, hanya 2 pulau saja yang dikategorikan pulau besar berdasarkan UU nomor 27 Tahun 2007 yakni Pulau Waigeo dan Pulau Misool sedangkan Pulau Salawati dan Batanta masuk kategori pulau kecil, ” kata Bhonto.
Suka atau tidak, sesuai perintah UU dan Putusan MK, maka Izin Usaha Pertambangan, kata Bhonto, diatas Pulau Salawati, Pulau Batanta, Pulau Gag, Pulau Gag, Pulau Manyaifun, Pulau Batan Pele, dan Pulau Kawe harus segera dicabut.
“Bupati Raja Ampat, dan Bupati Sorong harus segera minta ke Menteri ESDM untuk segera mencabut ijin usaha pertambangan baik yang ada dibawah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) di semua pulau – pulau yang ada di Raja Ampat dan Kabupaten Sorong, ” pinta Bhonto.
Sebagai penutup, Bhonto katakan, hukum adalah panglima, maka hukum harus ditegakkan, kalau UU tidak bisa ditegakkan, maka berati hukum bukan panglima, tetapi kekuasan dan investor yang jadi panglima.
“Kalau Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Swasta tidak terima izin usaha dicabut, caranya gampang, silahkan ajukan judical review ke MK, ” kata Bhonto menutup.