Kota Sorong, mediaetewnews.com – Empat dari tujuh izin usaha perkebunan kelapa sawit yang ada di Kabupaten Sorong telah dicabut oleh pemerintah Kabupaten Sorong pada 2021 silam.
Alasan pencabutan izin berawal dari hasil laporan evaluasi perizinan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat tahun 2018, sebelum pemekaran Papua Barat Daya.
Alasan lain yaitu Deklarasi Manokwari sebagai Provinsi Konservasi yang tertuang dalam inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit dan Gerakan Nasional Penyelematan Sumber Daya Alam (GNP-SDA).
Empat perusahaan sawit yang dicabut itu adalah PT Inti Kebun Lestari, PT Cipta Papua Plantation, PT Papua Lestari Abadi, dan PT Sorong Agro Sawitindo.
” Hasil evaluasi keempat perusahaan tersebut melakukan pelanggaran administrasi seperti tidak memiliki IPK, IUP, HGU, dan tidak memiliki kepemilikan pelaporan saham dan kepengurusan,” jelas Kabag Hukum Kabupaten Sorong, pada sesi diskusi perayaan pangan internasional di Sorong, Jumat lalu
Lebih lanjut Demianus Aru menjelaskan, perusahaan sawit yang melanggar administrasi sangat merugikan masyarakat adat. Kerugian telah banyak ditimbulkan akibat perusahaan sawit tersebut.
Dia meminta masyarakat jangan mudah terpancing untuk menjual tanah adat milik mereka.
Apa yang dikatakan Demianus Aru tersebut diaminkan oleh Devianti Sesa Perempuan Adat dari Sorong Selatan. Karena tanah dan perempuan itu sangat erat. Harus berkaca dari perusahaan sawit yang hadir di kampung-kampung.
” Tanah lepas, pangan dan kehidupan juga ikut terdampak. Makanya perlu perlindungan dari sekarang terhadap tanah-tanah di kampung,” kata Devianti Sesa.
Dia menambahkan bahwa masyarakat adat sadar investasi akan datang. Kami juga perlu regulasi untuk melindungi tanah adat dan pangan ditingkat kampung. Agar masyarakat adat bisa merasa aman wilayahnya tidak akan mudah diambil oleh perusahaan,” ujarnya.
Devianti menuturkan bahwa perempuan di kampungnya selalu masuk keluar hutan untuk mencari bahan membuat noken.
Kesehariannya yang sering ke hutan salah satu upaya menjaga hutan. Kalau tidak menjaga hutan ke depannya pasti akan hilang. Pangan akan hilang. Noken akan hilang. Hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan orang Papua.
Dia mengaku telah membentuk komunitas mama noken di kampung. Ini salah satu gerakan yang dibikinnya untuk menjaga kedekatan oerempuan dengan hutan.
” Dari hutan kami bisa bikin noken dan mendapatkan pangan. Bayangkan kalau hutan tidak ada. Bagaimana perempuan kedepannya,” ujar Devianti Sesa.
Sementara itu Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malamoi, Torianus Kalami yang juga hadir sebagai pembicara pada sesi diskusi itu memberikan pandangannya tentang kehadiran investasi di tanah Malamoi.
Torianus Kalami menyadari bahwa regulasi perlindungan masyarakat adat adalah salah satu jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat di Malamoi.
Menurutnya, meskipun Perda Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabuapten Sorong sudah disahkan. Tapi perjuangan dalam melindungi masyarakat adat tidak harus berhenti di situ.
” Perlunya penambahan regulasi ditingkat kampung lalu didorong ke tingkat kabupaten sebagai mitigasi perlindungan masyarakat adat di kampung,” tuturnya.
Pria yang akrab disapa Tori ini menegaskan, percuma masyarakat adat berjuang membela tanahnya jika tidak ada regulasi. Semua perjuangan itu hanya sia-sia semata.
Tori mengingatkan bahwa kiita bisa mendorong masyarakat adat di kampung membuat peraturannya sendiri yang isinya melindungi pangan lokal dan tanah masyarakat adat.
” Regulasi ini kemudian kita serahkan ke pemerintah daerah untuk disahkan. Itu satu hal yang pasti, yang bisa kita lakukan sekarang, agar tidak sia-sia,” tegasnya.
PENULIS : EDI