Kota Sorong, mediabetewnews.com – Kehidupan orang Moi sejak lahir tidak terpisahkan dengan yang namanya alam. Kedekatan inilah yang membuat orang Moi menggantungkan seluruh hidupnya dari hutan dan laut. Akses ke sumber pangan yang dekat inilah yang membentuk budaya pangan pada orang Moi itu sendiri.
Selain itu, tanah juga bagian penting dari pembentukan budaya pangan yang kemudian membentuk identitas orang Moi yang lebih kuat.
Namun, semakin ke sini wilayah adat Moi mulai terancam, dengan kehadiran industri kelapa sawit dan tambang mulai masif di tanah Papua Barat Daya. Secara tidak langsung merampas hak adat, hak wilayah, hak hidup, yang ujung-ujung meminggirkan masyarakat adat Moi.
Dusun sagu mulai tergantikan. Hutan dan tanah adat hilang akibat industri perkebunan sawit masuk. Tempat berburu di kampung berubah menjadi jalan raya dan lokasi pertambangan. Masalah-masalah inilah yang membuat budaya pangan orang Moi retak dari kehidupannya.
Perwakilan masyarakat adat Moi Kelim, yang hadir pada diskusi hasil Malamoi: Budaya Pangan, Tanah, dan Identitas, Ayub R. Paa mengaku bahwa kondisi di kampung sangat relevan dengan apa yang dituangkan dalam riset tersebut.
Masyarakat adat Moi saat ini mulai tergusur dari kampungnya dikarenakan kehadiran industri ekstrativisme yang sudah lama hadir di tanah Moi.
Ia juga mengaku bahwa budaya pangan orang Moi yang dulunya makan sagu kini berganti dengan nasi dan mi instan. Bahkan dikalangan anak-anak malah suka dua makanan ini.
” Anak-anak menjadikan nasi dan mi instan sebagai bagian dari pangan lokal. Padahal sagu adalah identitas orang Moi. Kini budaya itu bergeser bahkan mengalami keretakan si kalangan suku adat Moi,” ujar Ayub Paa, Jumat lalu.
Lebih jauh Ayub mengungkapkan bahwa dalam riset tersebut telah terjadi keretakan metabolic. Kalau dilihat dengan apa yang terjadi sekarang ini memang benar. Padahal kita sudah punya Perda Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Lengakuan MHA di Sorong, tapi tetap saja kita kalah dengan investas.
Dikatakannya, masyarakat adat Moi kedepan harus sadar dengan kehadiran investasi ekstraktif ini di kampung-kampung. Paling penting memastikan masyarakat tahu dan harus ada persetujuan dari masyarakat.
” Jika ada yang mau melepaskan tanahnya. Jangan mau kena tipu seperti yang sudah terjadi di beberapa kampung di Sorong,” ucapnya.
” Saya paling takut itu saya punya tanah hilang. Paling penting itu, kalau bicara Moi bicara soal marga. Bicara marga bicara soal tanah. Kalau kita kehilangan tanah, kita kehilangan marga. Lalu kita kehilangan budaya, pangan, dan orang Moi perlahan-lahan tergusur dari tanahnya sendiri,” sambungnya.
Pada kesempatan yang sama, Melianus Ulimpa, pemuda adat Moi yang hadir berbagi pandangannya tentang masa depan Malamoi. Dia melihat masa depan anak-anak muda nanti tidak akan mengenal lagi budaya orang Moi jika semua tanah marga hilang dan berganti jadi sawit adan tambang.
Apalagi, kedekatan orang Moi dengan hutan dan alam sangat erat. Terlebih khusus para perempuan Moi yang sering memanfaatkan hutan sebagai tempat mereka meramu, berkebun, dan mengolah hasil hutan menjadi obat dan makanan.
Sekarang mulai terlihat bahwa keakraban perempuan di kampung sengan bahan pangan perlahan-lahan bergser. Bahkan budaya pangan orang Moi itu dekat sekali dengan perempuan.
” Jadi, jika mau melihat bagaimana budaya pangan menghilang, lihat saja bagaimana kehidupan para perempuan Moi di kampung,” tegasnya,” tuturnya.
Sementara peneliti yang menulis buku berjudul Malamoi: Budaya Pangan, Tanah, dan Identitas, Zuhdi Siswanto menjelaskan temuannya soal pergeseran kedekatan orang Moi dengan hutan dan alamnya itu terlihat jelas.
Bisa dilihat dari penyajian piring makan di atas meja. Sagu harus berdampingan dengan nasi. Pergeseran ini berimbas pada budaya pangan itu sendiri.
Selain itu, Zuhdi dalam bukunya juga membahas tentang peran perempuan jadi sangat penting dalam menjaga kehidupan orang Moi.
PENULIS : EDI