Beranda Lintas Papua Plus-Minus Arah Kebijakan Pembangunan Provinsi Papua Barat Daya

Plus-Minus Arah Kebijakan Pembangunan Provinsi Papua Barat Daya

13
0
BERBAGI

Kota Sorong, mediabetewnews.com – Dalam diskusi peringatan Hari Pangan Internasional di Rylich Panorama Hotel, Kamis, 16 Oktober 2025, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) Provinsi Papua Barat Daya, Rahman Rajab mengatakan, Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya punya gagasan besar dalam memajukan ekonomi daerah yang berkelanjutan.

” Ide ini tertuang dalam master plan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Papua Barat Daya,” ucapnya.

Rahman menyebut, visi jangka panjang PBD sebagai pintu gerbang arah pembangunan Papua yang maju dan berkelanjutan berbasis ekonomi biru.

” Ekonomi biru ini sebagai pilar karena garis pantai wilayah PBD sangat luas ditunjang dengan kekayaan sumber daya lautnya,” ujarnya.

Ia juga menyebut, meskipun baru seumur jagung tapi sudah matang dipersiapkan untuk arah pembangunannya ke depan. Misalnya arah pembangunan pada sektor ekonomi ekstraktif yang difokuskan pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Selain itu, lanjut mantan Kepala Bappeda Kota Sorong ini mengatakan, pembangunan Papua Barat Daya juga akan mengarah kepada pengembangan potensi transisi energi yang menunjung tinggi komitmen energi terbarukan dan rendah karbon.

” Ada risiko dalam proyek transisi energi ini. Banyak masalah di lapangan seperti masyarakat adat yang hilang tanah. Makanya pemerintah mengupayakan prinsip transisi energi yang berkeadilan dengan cara mengoptimalkan energi lokal seperti air, surya, dan laut,” kata Rahman.

Sayangnya paparan Kepala Bapperida ini tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi, Silas Ongge Kalami mengungkapkan banyak konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan dan antara masyarakat sendiri.

” Konflik bukan hanya memicu perkelahian tapi turut memperburuk ikatan persaudaraan antar masyarakat dan antar marga,” ujarnya.

Silas menambahkan, investasi membawa dampak buruk bagi masyarakat adat. Kondisi lingkungannya rusak sehingga ruang hidup masyarakat juga ikut terganggu.

Hutan yang dulunya selalu dimanfaatkan sebagai tempat makan. Saat ini tidak bisa lagi karena semua hutan dan tanah adat berubah menjadi lahan-lahan kebun sawit dan tambang.

Hal ini harusnya menjadi pelajaran bagi semua masyarakat adat agar tidak menerima investasi dengan cepat. Karena keburukannya sudah bisa dilihat di depan mata dan terjadi di mana-mana.

” Masyarakat adat harus waspada dengan investasi atau proyek dari pemerintah. Harus belajar dari banyak kasus jangan menjual tanah lagi. Yang ada sekarang tanahnya harus dipertahankan. Jangan lagi dijual,” ujar Silas dalam sesi diskusi

Ketua LMA Malamoi Sorong ini menyebut bahwa Perda tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat di kabupaten Sorong sudah tegas mengatur bagaimana investasi masuk ke tanah marga atau tanah adat harus mendapat persetujuan masyarakat adat itu sendiri.

Artinya, tanah penting untuk dijaga. Alam untuk dijaga. Dan manusianya saling menjaga.

Diakuinya bahwa saat ini kabupaten Sorong digempur habis-habisan investasi, tapi jangan terkecoh lagi. Belajar dari wilayah lain yang tanahnya hilang dan tidak kembali. Masyarakat adat lah yang menderita pada akhirnya.

Perwakilan masyarakat adat Sorsel, Holand Abago ependapat dengan ketua LMA Malamoi. Iamengungkapkan, tanah adat di kampungnya terancan menjadi kawasan investasi berbasis karbon.

Holand Abago menyebut proyek bernama transisi energi yang hijau, tapi meminggirkan hak masyarakat adat.

” Kalau melihat paparan RTRW Papua Barat Daya kedepan bisa bertentangan dengan kondisi masyarakat adat di lapangan. Kedok investasi biru atau berkelanjutan jangan sampai merugikan masyarakat adat,” tegasnya.

Sementara perwakilan masyarakat adat dari Tambraw Natalis Yewen, mempertanyakan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki pemerintah daerah.

Dia menilai, keberpihakan pemerintah daerah belum dalam mendukung gerakan pengakuan masyarakat adat hingga ke perlindungan.

Disisi lain, Maria Baru, pemantik dalam diskusi turut memberikan tanggapan terkait investasi di Papua Barat Daya. Menurutnya, selama ini, pelepasan tanah adat dan tanah marga tidak pernah melibatkan perempuan dalam mengambil keputusan.

Semua yang berbau tanah harus diselesaikan oleh laki-laki. Padahal aktivitas perempuan banyak berhubungan dengan tanah. Ketika tanah hilang mereka juga turut merasakan dampaknya,” tuturnya.

Maria Baru menilai, perlunya ruang khusus keterlibatan perempuan agar urusan tanah tak melulu menjadi urusan laki-laki.

Ia tak menampik jika kehadiran investasi akan berdampak pada bagaimana sumber pangan masyarakat adat mulai bergser dan sedikit demi sedikit hilang.

” Program pemerintah yang berkelanjutan itu hanya meminggirkan ruang hidup masyarakat adat di tanahnya sendiri,” ujarnya.

PENULIS : EDI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here