Jakarta, mediabetewnews.com – Solidaritas Merauke menyampaikan protes keras atas kebijakan sewenang-wenang Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid yang telah melepas hampir setengah juta hektare kawasan hutan di Provinsi Papua Selatan untuk proyek komersial atas nama PSN.
Kebijakan itu dilakukan tanpa mengindahkan kedaulatan dan hak masyarakat adat.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menetapkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025 tertanggal 18 September 2025 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 430 Tahun 2025 tentang Perubahan Peruntukkan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dalam Rangka Review Rencana Tata Ruang wilayah Provinsi Papua Selatan, yang menetapkan luas areal Perubahan Peruntukkan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan/ Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 486.939 ha untuk mendukung Percepatan Pembangunan Kawasan Swasembada Pangan, Energi dan Air Nasional, Provinsi Papua Selatan.
” Papua bukan tanah kosong. Setiap jengkal tanah, hutan, savana, rawa-rawa dan perairan di tanah Papua itu dikuasai dan dimiliki masyarakat adat berdasarkan ketentuan norma adat dan tradisi, yang diwariskan para leluhur,” kata aktivis Walhi Uli Arta Siagian saat unjuk rasa menolak pelepasan kawasan hutan Papua Selatan untuk proyek strategis nasional pangan, energi dan pertahanan di muka kantor ATR/Badan Pertanahan Nasional, Selasa 7 Oktober 2025.
Menurut Uli, hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya tidak bisa menggunakan pandangan formalistik negara dan dokumen kepemilikan saja.
” Masyarakat adat Malind Anim, Makleuw, Khimahima, Yei, di Kabupaten Merauke, Suku Wambon Kenemopte dan Awyu, di Kabupaten Boven Digoel, yang berdiam dan memiliki wilayah adat pada kawasan hutan tidak dilibatkan dan tidak mengetahui keputusan tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut Uli mengatakan, berkali-kali dirinya bersama rekan-rekan aktivis lain menyuarakan penolakan terhadap PSN Merauke di Ibu kota Jakarta dan Papua.
Mereka ingin agar negara bisa menghormati dan melindungi hak hidup masyarakat adat, hak hidup bebas, damai dan aman, hak atas tanah, wilayah dan sumber daya, hak atas pangan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak perempuan dan anak serta hak atas pembangunan yang menjadi hak konstitusi mereka. Sayangnya, pemerintah mengabaikan semua tuntutan dan suara masyarakat adat itu,” ungkapnya.
Uli menyebut bahwa negara mengabaikan kewajibannya untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat adat sebagaimana Pasal 18 B UUD 1945 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Ia juga menyebut bahwa dalam pasal tersebut telah diatur dengan jelas mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya, termasuk hak atas tanah, hak untuk membuat keputusan dan kesepakatan penyerahan dan pemanfaatan tanah.
PENULIS : EDI