SORONG, mediabetewnews.com – Polresta Sorong Kota sebagai institusi penegakan hukum tentu tidak asal-asalan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Apalagi yang ditetapkan sebagai tersangka itu ternyata berprofesi sebagai advokad atau pengacara. Namun itulah yang terjadi selama 4 hari pada persidangan praperadilan yang sudah berlangsung sejak tanggal 5 Agustus 2025 hingga 8 Agustus 2025 di Pengadilan Negeri (PN) Sorong.
Yang mana Vecky Nanuru melalui Kuasa Hukumnya, Markus Souussa, Damus Usmany, Mercy Sinay, Glend H. Djamanmona dan Aprilia Souissa berupaya membuktikan bahwa penetapan tersangka yang dilakukan Penyidik Reskrim Polresta Sorong Kota itu tidak sah.
Untuk menguatkan dalil gugatan Praperadilan, Tim Kuasa Hukum menghadirkan saksi fakta yakni Mantan Kepala BPN Kota Sorong Yarit Sakona dan Saksi Ahli Hukum Pidana dari Universitas Pattimura (Unpati) Ambon.
Demikian pula Reskrim Polresta Sorong Kota yang diwakili PS Kanit II Sat Reskrim H. Kasrudin, SH,.MH dan Kasubnit II Unit II Sat Reskrim Polresta Sorong Kota, Haryadin berupaya menyakinkan Hakim tunggal yang mengadili perkara Praperadilan PN Sorong bahwa penetapan tersangka yang dilakukan oleh Penyidik Reskrim Polresta Sorong Kota terhadap Vecky Nanuru sah.
Penyidik Reskrim Polresta Sorong Kota telah menetapkan Vecky Nanuru sebagai tersangka dugaan pemalsuan surat yang dilaporkan oleh Kuasa Hukum Irwan Oswandi dkk, Jatir Yudha Marau pada tanggal 16 Oktober 2023 yang termuat dalam Surat Penetapan Tersangka Nomor : S.Tap.Tsk/188/VII/RES.1.9/ 2025 / Sat.Reskrim / Polresta Sorong Kota/Polda Papua Barat Daya tanggal 22 Juli 2025.
Gugatan Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru Tidak Jelas dan Kabur
Pihak Polresta Sorong Kota selama 4 hari dalam persidangan Praperadilan di PN Sorong telah membaca dan mencermati upaya yang dilakukan oleh Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru dalam menggugat Polresta Sorong Kota, dinilai tidak jelas dan kabur. Dalam istilah hukum gugatan yang tidak jelas dan kabur disebut Obscuur Libel.
Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru lebih banyak mendalilkan penetapan tersangka yang dilakukan oleh Penyidik Polresta Sorong Kota dikarenakan Vecky Nanuru tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka dan dinilai Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru sebagai bentuk kesewenang-wenangan dari Penyidik Polresta Sorong Kota sesuai Surat Perintah Penyidikan Nomor : SPRIN-SIDIK/1282/XI/2023/ Reskrim tanggal 24 November 2023 dan Surat Penetapan Tersangka Nomor : S.Tap.Tsk/188/VII/RES.1.9/2025/ Sat.Reskrim/Polresta Sorong Kota/Polda Papua Barat Daya tanggal 22 Juli 2025.
Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru Tidak Bisa Paparkan Dua Alat Bukti yang Kurang
Pihak Polresta Sorong Kota menilai bahwa Tim Kuasa hukum Vecky Nanuru mendalilkan penetapan tersangka yang disematkan kepada Vecky Nanuru oleh Penyidik Reskrim Polresta Sorong Kota tidak memenuhi syarat minimal dua alat bukti permulaan yang merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No: 21/PUUXII/2014 yang menegaskan bahwa frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” harus dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangka untuk menjamin hak asasi dan mencegah sewenang-wenang.
Namun Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru oleh Pihak Polresta Sorong Kota tidak pernah memaparkan jenis atau jumlah alat bukti yang dianggap kurang, maupun fakta bahwa Penyidik Reskrim Polresta Sorong Kota tidak melakukan pemeriksaan calon tersangka, padahal Putusan MK menuntut pemeriksaan eks ante sebelum terjadi kecuali in absentia dengan ketidakhadiran. Maka itu pihak Polresta Sorong Kota berpandangan kalau tanpa uraian konkrit, dalil dua alat bukti hanya menjadi retorika tidak mengikat.
Vecky Nanuru Menggugat Untuk Minta Batal atau Tunda Penyidikan
Pihak Reskrim Polresta Sorong Kota menilai upaya Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru mengingat Polresta Sorong Kota Cq. Reskrim Polresta Sorong Kota yang telah menetapkan Vecky Nanuru sebagai tersangka dalam kasus dugaan Tindak Pidana Pemalsuan Surat yang dilaporkan oleh Kuasa Hukum Irwan Oswandi samar dan tidak kongkrit, bila mendalilkan ada proses perkara perdata yang masih bergulir dan belum berkekuatan hukum tetap.
Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru menuntut pembatalan segala penyidikan dan penetapan tersangka dan rehabilitasi nama baik melalui media cetak dan elektronik.
Namun menurut pihak Polresta Sorong Kota, tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru tidak menjelaskan apakah yang dimohon batal adalah SPRIN SIDIK, Surat Ketetapan atau tidakan lanjutan dan apakah efeknya ex tunc dari awal atau ex nunc dari sekarang.
Oleh karena samar dan tidak kongkrit dalil yang dipakai oleh Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru membuat pihak Polresta Sorong Kota balik bertanya apakah Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru menghendaki pembatalan atau sekedar penundaan penyidikan karena ada gugatan perdata? Yang mana dalam Putusan MA Nomor : 492 K/Sip/1970 telah dengan secara jelas menegaskan bahwa petitum tanpa objek konkret merupakan obscuur libel.
Kemudian Tim Kuasa Vecky Nanuru juga mendalilkan agar pihak Polresta Sorong Kota menyampaikan duduknya permasalahan perselisihan hak atas tanah yang berujung pada Laporan Polisi Nomor : LP/B/865/X/2023/SPKT/Polresta Sorong Kota/Polda Papua Barat tanggal 16 Oktober 2023 dari Pelapor terhadap Vecky Nanuru.
Kemudian Vecky Nanuru menggugat Irwan Oswandi dkk sebagai pelapor dalam perkara Perdata Nomor : 124/Pdt.G/2023/PN Son di Pengadilan Negeri Sorong (yang saat ini dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung), berawal dari adanya dualisme pelepasan hak atas tanah adat di Jalan Kontener Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.
Dualisme itu mencakup :
- Tn. Azari Rosali dkk mendapat pelepasan hak atas tanah adat dari Tn. Salmon Osok, dengan kedudukan tanah berada di Kelurahan Klablim, Distrik Klaurung.
- Pelapor dkk memperoleh pelepasan hak atas tanah adat dari alm. Dominggus Osok, dengan kedudukan tanah berada di Kelurahan Kalasuat, Distrik Sorong Timur.
Vecky Nanuru memperoleh tanah dari Azari Rosali seluas 1 ha (dari 3 ha milik Azari Rosali), yang awalnya tercatat berada di Kelurahan Kalasuat namun setelah dilakukan survei oleh BPN, diketahui bahwa tanah tersebut secara administratif berada di Kelurahan Klablim.
Atas petunjuk BPN, Vecky Nanuru meminta Azari Rosali untuk memperbaiki dokumen pelepasan agar sesuai dengan wilayah administratif yang benar. Dan tindakan Vecky Nanuru tersebut oleh Tim Hukumnya menilai tindakan itu semata-mata melaksanakan petunjuk teknis dari BPN guna melengkapi persyaratan administrasi pendaftaran hak, tanpa inisiatif atau kehendak untuk memalsukan dokumen.
Sengketa mengenai keabsahan alas hak tersebut kini menjadi objek perkara perdata yang sedang menunggu putusan kasasi. Oleh karena itu, keberadaan sengketa perdata ini tidak dapat dijadikan dasar untuk proses pidana yang terburu-buru.
Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru turut mengaitkan Peraturan MA No. 1 Tahun 1956 dan Surat Kejaksaan Agung Nomor : B-230/Ejp/01/2013, serta STR Kapolri No. STR/505/VII/2009 yang berbunyi apabila kepemilikan tanah masih menjadi objek perkara perdata dan belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka penanganan pidana sebaiknya ditunda demi menghormati asas legalitas dan kepastian hukum.
Pihak Reskrim Polresta Sorong Kota justru berpandangan dengan dalil yang memuat Peraturan MA No. 1 Tahun 1956 dan Surat Kejaksaan Agung No. B-230/Ejp/01/2013, serta STR Kapolri No. STR/505/VII/2009 justru telah dapat menunjukan bahwa posita tidak memuat secara lengkap dan terstruktur mengenai unsur pidana yang disengketakan, dalil dua alat bukti tidak dirinci, dan petitum gagal menunjuk relief yang spesifik dan tidak konsisten antara pembatalan atau penundaan.
Maka dengan demikian, permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru adalah kabur, tidak berdasar dan tidak jelas (Obscuur Libel).
Permohonan Merehabilitasi Nama Baik Prematur
Dalam petitum, Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru memohon agar Hakim Tunggal yang mengadili perkara Praperadilan yang diajukan oleh Kuasa Hukum Vecky Nanuru untuk merehabilitasi nama baik Vecky Nanuru melalui media cetak dan elektronik selama 3 hari berturut-turut pada berita halaman depan.
Pihak Reskrim Polresta Sorong Kota menyampaikan permohonan rehabilitasi diatur dalam KUHAP dan berdasarkan definisi yang diatur dalam Pasal 1 angka 23 KUHAP berbunyi Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini.
Adapun lingkup dari pengajuan upaya rehabilitasi yang dapat diajukan oleh Tersangka yang menjadi lingkup Praperadilan hanya meliputi permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP yang berbunyi, permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.”
Pihak Reskrim Polresta Sorong Kota sampaikan perkara dugaan tindak pidana pemalsuan surat sampai saat ini masih dalam tahap penyidikan, bahkan sampai dengan jawaban ini dibacakan, proses penyidikan masih berlangsung. Dan pihak Reskrim Polresta Sorong Kota tidak melakukan penangkapan ataupun penahahan terhadap Vecky Nanur, maka permohonan Rehabilitasi yang diajukan oleh Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru adalah prematur.
Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru oleh Pihak Reskrim Polresta Sorong Kota hanya dapat mengajukan permohonan rehabilitasi kepada lembaga Praperadilan sebagaimana ketentuan Pasal 97 ayat (3) KUHAP, yaitu apabila pihak Reskrim Polresta Sorong Kota telah melakukan penangkapan, penahanan dan tidak mengajukan perkara aquo ke Pengadilan.
Permohonan Praperadilan Lebih Banyak Menguraikan Peristiwa Hukum Perdata
Pihak Reskrim Polresta Sorong Kota menyebutkan bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru dalam permohonannya lebih banyak menguraikan peristiwa hukum keperdataan yang sama sekali tidak relevan dengan domain praperadilan.
Posita memuat narasi panjang tentang transaksi jual beli tanah, dualisme surat pelepasan hak atas tanah adat, keberadaan dua wilayah administratif berbeda (Klablim dan Kalasuat), perubahan titik koordinat, hingga proses administratif di kantor pertanahan, termasuk permintaan revisi surat atas petunjuk BPN.
Sesungguhnya keseluruhan dalil yang diajukan Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru telah memasuki ranah materiil yang merupakan pokok perkara dan bukan kewenangan Praperadilan.
Dimana berdasarkan ketentuan Pasal 77 KUHAP jo. Pasal 1 angka 10 KUHAP serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, lingkup Praperadilan dibatasi hanya pada pemeriksaan keabsahan tindakan aparat penegak hukum dari aspek formil, termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penghentian penyidikan/penuntutan.
Kemudian Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 secara tegas menyatakan bahwa dalam perkara praperadilan mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, pemeriksaan hanya terbatas pada aspek formil, yaitu apakah telah terpenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP dan disertai pemeriksaan terhadap calon tersangka, tanpa menilai materi atau isi alat bukti tersebut.
Pihak Reskrim Polresta Sorong Kota memberi pendapat bahwa alam permohonan yang dimohonkan oleh Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru secara substansial justru telah mempersoalkan sengketa kepemilikan atas tanah, keabsahan dokumen pelepasan hak adat, serta dugaan manipulasi administratif dalam permohonan sertifikasi, yang seluruhnya merupakan substansi pembuktian dalam perkara pokok dan telah menjadi objek perkara perdata yang masih bergulir di Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, pembuktian unsur pidana dan keabsahan dokumen bukanlah menjadi kewenangan lembaga Praperadilan. Hal tersebut sejalan dengan yurisprudensi Putusan MA Nomor 18 PK/Pid/2009 dan berbagai putusan Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan seperti Putusan No. 161/Pid.Prap/2020/PN.Jkt.Sel, Putusan No. 28/Pid.Prap/2019/PN.Jkt.Sel, serta Putusan No. 119/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel yang menegaskan bahwa Praperadilan hanya berwenang memeriksa aspek prosedural, bukan menilai materi pokok perkara atau keabsahan isi alat bukti.
Permohonan yang dimasukkan oleh Tim Kuasa Hukum Vecky Nanuru pada dasarnya mempersoalkan unsur-unsur subjektif dan objektif dari dugaan tindak pidana sebagaimana diduga dalam Surat Ketetapan No. S.Tap.Tsk/188/VII/RES.1.9/2025 tanggal 22 Juli 2025, yang mencakup dugaan melanggar Pasal 263, 264, 221, 385 KUHP dan lain-lain, yang kesemuanya membutuhkan pembuktian dalam sidang perkara pokok, bukan melalui forum Praperadilan.
Pihak Reskrim Polresta Sorong Kota sampaikan pembuktian mengenai unsur pidana seperti niat jahat (mens rea), penggunaan dokumen palsu, dan timbulnya kerugian tidak bisa dibuktikan dalam forum Praperadilan, melainkan harus diuji dalam pembuktian biasa sesuai prinsip due process of law dan asas in dubio pro reo.
Penulis : Jason